Terjebak Kesepian

Ini adalah sebuah pengakuan: Saya pernah merasa berada di ambang depresi. Saat mengalaminya, saya merasa terpuruk dalam kesedihan (dan rasanya terus berlipat ganda dalam pikiran saya), saya merasa sungguh sendirian dan tidak tahu harus minta tolong ke siapa,  dan gak sanggup memulihkan diri saya sendiri untuk menjadi lebih baik dengan berpikir yang ‘indah-indah’.

Beberapa catatan sebelum saya melanjutkan. Mungkin saya tidak memenuhi kategori depresi klinis, maka dari itu saya menggunakan istilah “ambang depresi”. Baca tulisan ini untuk penjelasan soal salah kaprah depresi: “Apakah Kita ‘Depresi’? Bagaimana Cara Mengetahuinya?

Saya sama sekali tidak bermaksud mengerdilkan gangguan depresi klinis ataupun penderita gangguan depresi lainnya. Saya jelas bukan profesional, ini adalah cerita atau curhat saya pribadi. Saya sudah sempat berkonsultasi dengan tenaga ahli/profesional  mengenai kondisi saya dan hal itu memang membantu saya. Berkonsultasilah dengan pihak yang profesional.

Kembali ke cerita saya tentang ambang depresi yang saya alami.

Apa Penyebabnya?

Saya tidak tahu pasti apa penyebab utama kondisi saya. Tapi saat dirunut balik, memang ada sejumlah peristiwa hidup yang cukup beruntun, sehingga mungkin menjadi seperti efek domino atau snowball effect pada kondisi saya.

Bulan Agustus,  tahun 2015. Saya menikah di awal bulan Agustus, dan melewati proses persiapan nikah yang tidak selalu mulus. H-4 saya dan calon suami baru sadar ada proses dokumen yang keliru, jadi harus kami ulang dari nol setelah hari H.

Di hari H pernikahan, kami menerima kabar duka, bahwa calon ayah mertua saya meninggal dunia… sehingga sebagian keluarga tidak akan hadir dalam acara. Saya sempat panik, apakah pernikahan saya harus dibatalkan karena berita tersebut. Sejumlah teman juga ada yang menanyakan hal itu saat menerima kabar duka. Sungguh, perasaan saya campur aduk. Pernikahan saya syukurnya tetap berjalan. Di luar berita tersebut, relatif lancar.

Impian saya bahwa saya diantar ayah kandung ke depan altar gereja untuk menikah, menjadi kenyataan. Saya tahu ayah saya terindikasi penyakit, tapi beliau tetap hadir dan merayakan hari bahagia (dan hari berduka) itu bersama. Sejujurnya, saat itu saya tidak tahu penyakit ayah saya seburuk apa.

Papa saat mengantar saya ke depan altar, di hari pernikahan saya
Papa saat mengantar saya ke depan altar, di hari pernikahan saya
Bulan September 2015, suatu akhir pekan menjelang September berakhir, ayah tiba-tiba meminta saya pulang ke Bogor… Itu adalah sinyal SOS dari ayah. Kondisinya memburuk dan ayah baru mau membuka diri tentang kondisi beliau. Perjuangan kami menghadapi kanker ayah pun dimulai. Ayah sempat dicek ke rumah sakit tapi menolak untuk dirawat inap. Beliau memilih berobat jalan dan mencoba pengobatan alternatif di tempat-tempat rujukan dari sejumlah teman.

Awal bulan Oktober 2015, ketika saya turut mengantar ayah ke sebuah rumah sakit untuk berobat, malah saya yang harus opname: saya jatuh tergelincir, menabrak mobil yang diparkir dan patah tulang.

Proses pemulihan saya dimulai, dan ayah masih lanjut berobat.

Secara fisik saya memang berangsur membaik, saya boleh pulang dan sempat istirahat di rumah saja.

Tapi siapa yang sadar tentang apa yang terjadi di dalam diri (kondisi mental) saya?

Awal bulan Desember 2015, setelah melihat hasil lab ayah yang terbaru, kali ini saya dan adik kakak saya mulai ketar ketir.  Kondisi ginjal ayah sudah sangat mengkhawatirkan. Saya ijin dari kantor untuk mendampingi ayah yang mulai opname, sebisanya saya merespon soal kerjaan via email atau chat saja.  Sejak 8 Desember ayah opname, sempat cuci darah, tetapi kami tahu kondisinya sudah komplikasi.

Tanggal 17 Desember 2015, ayah saya meninggal dunia.

Saat beliau ‘berangkat’, tangan kirinya ada dalam genggaman saya. Saya menyaksikan dan merasakan saat tiba-tiba genggaman itu menjadi lunglai, dan pandangannya menjadi kosong. Meski sudah menyiapkan hati, hal itu tetap berbekas mendalam untuk saya.

Kemudian, sangat banyak yang perlu diurus dan menyita waktu saya. Memberi kabar bagi keluarga dan handai taulan, acara dan semua ritual pemakaman ayah, mengurus dokumen-dokumen, urusan rumah yang ditinggalkan.

Memasuki tahun 2016.

 

Di awal-awal tahun itulah saya merasa, saya ini mengalami breaking down.

I was so negative thinking and couldn’t handle myself well.

Then something happens.

Ada sebuah hal ‘sepele’ yang saya jumpai, dan menjadi pemicu kesedihan saja tiba-tiba semakin menjadi-jadi. Saya sedang sendirian di rumah, dan saya menangis sendirian di kamar sampai sesak napas, batuk-batuk dan panik sendirian.

Apa pasal?

Saya sedang membuka Path atau Instagram, atau apalah saya sudah lupa… Saya melihat banyak foto teman-teman saya terpajang. Mereka adalah teman-teman yang saya anggap teman dekat dan akrab dengan saya, dan mereka sedang lagi asik nongkong kumpul-kumpul.

It hits me. 

Saya tidak diajak.

Saya merasa terlupakan.

Dan sangat sendirian.

Feeling lost and alone

I felt very lonely that it scared me

I felt I was so meaningless

I am no one. I am useless.

No one remembers me and no one wants me.

You know..

That dark thoughts…  when it appears.. it consumes you from inside.

It’s like quicksand that tries to absorb you.

..

Membuat lupa hal-hal yang seharusnya saya syukuri.

Hal-hal indah yang membahagiakan untuk saya.

..

Saya punya suami.

Saya punya kakak adik yang akrab, meski mereka tinggal jauh dari saya. Saya punya teman chat yang selalu mau memberi support.

Tapi saya gak ingat.

Saya tenggelam dalam kesedihan..

Saya gak tahu apa orang lain mengalami hal ini juga.

Sedikit banyak, akal saya bilang, ada yang gak beres dengan saya. Dan setelah struggling melawan diri saya sendiri, saya akhirnya membuat keputusan untuk meminta pertolongan dari profesional.

Setelah sempat maju mundur dan berusaha cari jadwal dan referensi, saya mendatangi seorang psikolog.

Saya juga ceritakan dengan adik-kakak dan suami saya.

Seharusnya saya datang lagi, tapi karena urusan biaya, saya mengundur terus komitmen saya untuk kunjungan berikutnya, dan akhirnya sudah setahun lebih saya tidak melakukan konsultansi lagi. (Contoh tidak baik, tapi setiap orang beda-beda yah. Mohon maklum.)

Apa saya sembuh total?

Oh tentu tidak.

Masih ada di dalam diri saya, seorang Natalia yang sensitif, negative thinking, feeling guilty, feeling useless dan insecure.

Waktu ayah saya meninggal, sejumlah orang bilang kalau mereka salut karena saya nampak tegar, saya tidak banyak menangisi kepergian ayah.

Tapi itu kan di permukaan.

Saya masih sempat bolak-balik menyangkal diri saya, tapi pada akhirnya saya harus mengakui, saya masih rentan.

Saya merasa tidak yakin dengan hubungan-hubungan yang saya miliki.

Tapi saya berusaha menjadi lebih baik, pelan-pelan.

Saya bersyukur, untung saja saya menyadari, dan mau meminta bantuan orang lain.  Untung saya didukung oleh keluarga, dan suami saya.

Sampai di sini dulu panggung saya ya.

Berkaitan, tapi tidak secara langsung, saya punya cerita lain.

Pernahkah terpikir olehmu, bagaimana kalau seandainya kamu mengalami jalan buntu, dan tidak tahu harus bagaimana lagi untuk bangkit dan maju?

Pernahkah terpikir olehmu, bagaimana kalau misalnya sedari lahir, kamu memiliki keterbatasan permanen, kamu tidak bisa berbicara normal, melakukan kegiatan fisik normal?

Akhir bulan Mei 2017.

Saya sempat diajak menjadi sukarelawan dalam sebuah kegiatan, dan menjadi pengalaman yang membuka mata saya. Saya mengetahui hal-hal baru, bukan secara akademis, tapi terhadap apa yang sungguh terjadi di dalam masyarakat setempat, khususnya di Bandung.

Keterlibatan saya terjadi atas undangan dari Yayasan Sayangi Tunas Cilik, perpanjangan Save The Children International (STC) di Indonesia. Mereka adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM, atau Non-Governmental Organization alias NGO) internasional yang memperjuangkan hak-hak anak di seluruh dunia, tentunya termasuk Indonesia. (Btw, penerjemahan nama yang pintar! Saya suka :D)

Dari Jakarta, saya bersama sekelompok orang-orang yang cukup acak, berjumpa di Bandung. Seharusnya kami berangkat bareng, tapi saya menyusul dengan transportasi sendiri dari Jakarta (karena ada acara lain di hari keberangkatan).  Saya sebut acak, karena dari berbagai bidang dan profesi: ada ilustrator, penulis, pebisnis kreatif, developer, dan lainnya.

Workshop Save The Children bersama anak-anak muda Bandung peserta Skills To Succeed
Workshop Save The Children bersama anak-anak muda Bandung peserta Skills To Succeed
Hari pertama, kami bertatap muka dan berbagi ilmu dalam workshop/ngobrol serius santai bersama anak-anak muda naungan Skills To Succeed (S2S), program STC untuk membekali anak muda dengan pengetahuan dan keterampilan wirausaha (entrepreneurship). Mayoritas dari anak-anak muda ini ternyata sudah menyelesaikan/putus SMA, tidak melanjutkan kuliah, karena tidak mampu. Mereka sudah mulai bekerja, dan didorong untuk memulai usaha mereka sendiri.  Sejalan dengan program S2S, beberapa orang sudah merintis usaha seperti menjual kaos online, menjadi reseller, usaha fotografi, dan ada juga yang memiliki ide seperti usaha menjual makanan dan membuat sebuah wisata alam.

Saya salut dengan semangat dan berbagai minat mereka. Tapi dari obrolan dengan anak-anak ini, mereka masih bingung, bagaimana sebenarnya membuat usaha mereka ini sungguh berjalan dan bisa berkembang.

Bahkan ada yang kisahnya tragis, salah satu anak muda ini sedang mengalami kelesuan di rintisan usahanya, dan handphonenya baru saja hilang dimaling orang. :(

Klik untuk baca tulisan dari Wadezig tentang workshop ini

Workshop hari itu yang di awalnya beragendakan digital entrepreneurship agak bergeser menjadi sesi cerita dan tanya jawab, disertai juga sharing padat tentang prinsip komunikasi… Ya, kami membahas soal komunikasi juga. Masalahnya begini, setelah sejumlah tanya jawab di bagian awal, dengan moderasi salah seorang rekan dari STC, ditemukan dan disorotlah bahwa keterampilan komunikasi dasar dari anak-anak muda ini, masih tergolong agak lemah, dan perlu dimatangkan lagi.

Bukannya saya bilang kalau mereka pasti gagal dengan kondisi sekarang ini, tapi andaikata kemampuan komunikasi dan kerangka berpikir mereka lebih baik, saya akan lebih teryakinkan dengan potensi kesuksesan mereka di masa depan. Memang mereka pasti masih akan berkembang, tapi jika tanpa bimbingan, tanpa program seperti S2S, pasti akan lebih lama perjalanannya dan jatuh bangunnya.

Ini baru di Bandung lho, bagaimana dengan anak-anak muda di pelosok yang lebih terpencil?

Hari berikutnya, kami mengunjungi wilayah Kabupaten Bandung, tepatnya di Desa Maruyung, Kecamatan Pacet.

Kali ini kami bertemu dengan ibu-ibu yang ada dalam naungan program lain STC, yaitu Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Gamblangnya, mereka adalah para ibu yang memiliki anak dengan kondisi cacat/disabilitas, dan kebanyakan adalah kondisi sejak lahir.

Bertemu dengan para ibu Rehabilitasi Berbasis Masyarakat untuk anak berkebutuhan khusus di Desa Maruyung, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung
Bertemu dengan para ibu Rehabilitasi Berbasis Masyarakat untuk anak berkebutuhan khusus di Desa Maruyung, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung
Total jumlah ibu-ibu dalam RBM ini ada sekitar 34 orang, tetapi yang dapat hadir dalam acara silaturahmi tersebut ada sekitar 12-14 orang saja, dan mereka hadir bersama anak-anak mereka.  Ini baru satu area saja lho. Saya tidak pernah tahu, kalau dalam satu wilayah kecamatan/desa saja bisa ada cukup banyak anak berkebutuhan khusus.

Banyak kasus disabilitas ini terdiagnosa microcephaly, yaitu kondisi ketidaknormalan perkembangan otak (saat di dalam lahir atau sesudah dilahirkan), yang menyebabkan ukuran kepala bayi/anak jauh lebih kecil dari ukuran normal. Akibat dari otak yang tidak berkembang normal, perkembangan keseluruhan anak-anak ini menjadi terhambat, bahkan mengalami keterbelakangan mental.

Mendengar cerita-cerita para ibu ini sungguh membuat hati saya tercekat dan haru.

Anak-anak ini, namanya juga tidak berkembang normal, jangankan belajar untuk berbicara, untuk menggerakkan badan dengan normal pun sulit bagi mereka.  Untuk makan dan minum, mereka harus dibantu (disuapi), mereka belum bisa berjalan (meski anak normal seumuran biasanya sudah bisa jalan dan mulai bicara), menangis dan rewel adalah cara mereka ‘berkomunikasi’ dengan dunia mereka.

Saya bukan ahli dan semoga saya tidak sok tahu, tapi saya terbayangkan, anak-anak yang berkebutuhan khusus ini berada dalam kondisi terjebak dalam kesendirian mereka, dan mereka tidak tahu (harus pelan-pelan sekali belajarnya) bagaimana cara berhubungan dengan dunia di luar dirinya.

Kalau tidak ada ibu dan keluarga yang mendukung, akan jadi seperti apa nasib mereka?

Salah seorang ibu menuturkan, ia berharap supaya masyarakat bisa lebih menerima dan peduli dengan anak-anak berdisabilitas. Dan jika ada fasilitas dalam jarak dekat dan pilihan pengobatan yang lebih terjangkau, akan sangat membantu. Untuk mereka yang berdomisili di Desa Maruyung, pilihan berobat yang dapat melayani kasus disabilitas hanya ada di kota Bandung, dan bagi mereka yang berpenghasilan tidak banyak, bolak-balik ke Bandung dari Maruyung akan terlalu melelahkan dan menghabiskan ongkos. Belum lagi saat ada dalam angkot, pandangan mata orang-orang yang aneh, sudah terlalu sering terjadi.

Para ibu lain nyaris serempak mengiyakan, kejadian serupa juga dialami oleh ibu-ibu lainnya. Masyarakat umumnya masih belum bisa menerima disabilitas dengan baik-baik. Ada yang merendahkan, ada yang menghindar, ada juga yang kasihan tapi ujung-ujungnya jadi merendahkan, meski tidak sengaja.

Mirisnya, keluarga dengan kasus disabilitas pun masih ada yang menganggap hal tersebut sebagai aib keluarga, sehingga mereka menutupinya rapat-rapat, dan menolak bantuan bahkan saat ditawarkan. Alasannya? Malu.

Kalau meminjam istilah Dian, stigma sosial = tembelek kingkong.
Baca selengkapnya tulisan Dian di sini.

Ini baru cerita tentang dua hari pertama di Bandung. Selebihnya akan saya taruh di tulisan terpisah.

Kalau saya boleh ambil hikmahnya..

Banyak orang, bukan saya sendiri, yang mengalami kisah sedih, terpuruk, tak tahu arah. Cerita dan latar belakangnya pasti berbeda-beda.

But we all may need a little help.

You should ask for some proper help.

(And if you can, do help.)*

*(Ya… semua dalam batas dan porsi masing-masing juga.
Niat baik saja gak cukup sih,bisa menuntun ke jalan sesat penuh drama dan luka hati juga.)

Hal kedua..
Dunia akan lebih baik kalau kita bisa menerima perbedaan dengan baik-baik. 

Di dalam masyarakat kita, orang-orang dengan kondisi gangguan depresi atau kesehatan mental tidak normal, itu ada. Anak-anak dengan disabilitas, itu ada.

 

Perbedaan, itu ada, dan bukan dosa.

Perbedaan, tidak berarti perlu dibeda-bedakan.

Dimaklumi, dan diterima, dan tidak perlu dibuat semakin meruncing, mungkin itu yang paling tepat.

Catatan akhir: Tentunya perlu disikapi dengan bijak sesuai situasi dan kondisi ya.
Bahwa ada yang berbeda pendapat dan menganggap disabilitas itu aib, ya ada. Tapi beda pendapat model ini bukan untuk dimaklumi. Ini indikasi ada salah kaprah di dalam pola pikir masyarakat kita.

21 thoughts on “Terjebak Kesepian

  1. Natalia, bersyukurla mendapat ujian dan cobaan berat.Ketika mendapat cobaan berat,maka saat itu, kita diberi waktu oleh Sang Penguasa Bumi untuk refleksi.Hidup harus ada hitam,harus ada putih, ada kesembuhan tetapi juga ada penderitaan bahkan mengalami maut.Hadapi,dan lepaskan dengan lapang dada,jangan terlalu larut dalam kesedihan, karena fisik kita terbatas.Syaraf buth rileks.Semoga

  2. saya pernah mengalami kondisi di titik nol. kesepian tsb. Naik turunnya saya persis tahu. saya punya akses mudah ke profesional krn kebetulan saya kuliah di psikologi tp saya paham betul, luka hati itu pelan2 sembuhnya. scara nalar ingin segera bangkit, tp tubuh jiwa roh kita tahu kpn wkt yang tepat utk pulih jd ketika drop lg tetap tenang

    1. Saya masih suka sekali dengan quote “What doesn’t kill you, makes you stronger” – tapi ternyata gak semua natural demikian. Iya bisa pelan-pelan sembuh. Bisa juga ada yang butuh bantuan profesional. Tapi benar, semua ada waktunya masing-masing. Terima kasih sudah urun komentar di sini :)

  3. be strong ya… emang kadang hidup itu gak selalu seneng… tapi ya itu namanya hidup ya, bagaikan rollercoaster tapi tetep mesti dijalanin anyway…

  4. NAAATTT…. aku baru baca dan mau peluuukkk.

    Been thereee,banget, jaman awal-awal baru melahirkan, dunia kaya terporos pada bayi dan aku melupakan diriku sendiri.

    Yuk arisaaaan! kita kumpul2 :D

    1. Rahneeee *hugs*

      Sebenarnya ternyata yang mengalami begini sepertinya gak sedikit, tapi gak semua tahu (dan mungkin tidak semua harus tahu juga sih).

      Ayukkk kumpul2 arisaannn

Feel free to leave your comment!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s